Kebaikan, Privasi dan Publikasi
Perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini;
“Alhamdulillah meskipun tidak sahur akhirnya sampai Maghrib juga puasa sunah ini.”
“Alhamdulillah hari ini bisa khatam 3 juz.”
“Senengnya hari ini bisa ngasih sedekah makan orang-orang yang membutuhkan”
“Bangun awal untuk Tahajud itu rasanya menenangkan hati”
“Baru seminggu Ramadhan tapi alhamdulillah Allah sudah kasih kekuatan untuk khatam Quran.”
“Bersyukur banget masih rutin nambah hafalan Quran meski banyak kesibukan.”
“Sholat berjamaah tadi khusyu’ banget, imamnya bacaannya merdu.”
“Subhanallah, Sholat di depan Ka’bah langsung rasanya bikin pingin nangis.”
Ketika ada kawan yang menulis status model-model seperti ini apa kira-kira yang ada di fikiran kita? Mungkin ada yang berfikiran,
“Ya Allah ibadah kok dipamerin sih? Itu kan urusan dia sama Allah.”
“Ibadah kan prifasi, kenapa dipublikasi, itu ria’ namanya.”
“Ini kayaknya ibadah dengan tujuan biar bisa nulis status begini.”
“Ibadah itu untuk Allah, bukan untuk update status.”
“Ini update status begini biar dikenal orang sholeh kayaknya.”
“Wah ibadah kok dicampur ria’, gugur ntar pahalanya.”
Tentang pernyataan-pernyataan di atas ada kata ria’, ya ria’ memang suatu dosa dan bisa menggugurkan pahala kita ketika memang maksudnya untuk itu. Tentang tulisan-tulisan yang membahas ini sudah banyak saya jumpai dan kebanyakan mengatakan, “Itu perkara ria’ yang akan menghapus amalan kita.”
Tapi saya takut jika kesimpulan itu berterusan justru bisa memupuk api buruk sangka (suudzon) diantara kita dengan sesama. Melalui tulisan ini saya coba mengajak melihat dari sudut lain, mencoba mengajak melihat dari sudut yang semoga bisa meluaskan hati dan fikiran kita.
Langsung saja, ketika ada yang menulis seperti itu mari sama-sama kita kedepankan baik sangka (khusnudzon) dan kita coba tumbuhkan fikiran untuk menangkap suatu kebaikan dibanding keburukan yang masih prasangka. Apa maksudnya? Ketika ada orang yang menuliskan kebaikannya cobalah berfikir bahwa dia sedang gembira, ingin menyampaikan kegembiraannya, dan sedang memotifasi orang lain agar juga terdorong untuk melakukan kebaikan tersebut.
Kita perlu ingat bahwa dengan tanggapan negatif atas status orang lain seperti diatas, itu artinya kita telah mengizinkan buruk sangka (suudzon) singgah di hati kita.
Kita tentu tau bahwa amalan tergantung niat, maka ketika niat kebaikan dia tulus dan bersih untuk Allah Ta’ala dan mempublish kebaikan memang bertujuan untuk memotifasi yang lain maka tak ada yang jadi masalah, semua kembali pada niat empunya amal. Tentang niat dan keikhlasan serta urusan hati itu sepenuhnya Allah yang mengetahui dan kita tak berhak sedikitpun menghakimi.
Bisa jadi orang yang mengabarkan perihal kebaikannya memang merupakan sekedar ekspresi bahagia akan hal-hal positif yang dia lakukan dan berharap hal itu bisa menggugah orang lain untuk termotifasi melakukan hal serupa. Jika kabar kebaikan yang disebarnya memang diniatkan untuk memotifasi orang lain agar melakukan kebaikan serupa maka justru dia akan mendapatkan pahala dari mereka yang termotifasi.
Di Al-Quran juga diperintahkan “wa bassyiris-Sobiriin”, nah ayat ini memerintahkan kita ketika ingin cerita-cerita tu ya cerita lah yang gembira-gembira, yang baik-baik. Supaya dapat memotifasi dan menebarkan energi positif pada orang lain. Bisa jadi setelah update status ada yang mendoakan, ada yang termotifasi juga denga kebaikan yang ditulis. Jadi ya jangan hanya yang sedih-sedih saja yang kita sebarkan.
Tapi yang perlu menjadi catatan, ketika posisi kita ingin menjadi pelaku untuk menuliskan kebaikan maka yang menjadi titik tekan adalah niat awal akan sebuah pekerjaan tersebut, tanyakan lagi untuk apa ini saya lakukan?
Namun ketika kita menjumpai kawan yang menuliskan kebaikannya maka jangan izinkan sedikitpun buruk sangka singgah di fikiran kita dengan berfikir yang tidak-tidak tentangnya.
Berikan sebanyak-banyaknya prasangka baik daripada menghadirkan prasangka buruk.
Kairo, 04/10/2015
“Alhamdulillah meskipun tidak sahur akhirnya sampai Maghrib juga puasa sunah ini.”
“Alhamdulillah hari ini bisa khatam 3 juz.”
“Senengnya hari ini bisa ngasih sedekah makan orang-orang yang membutuhkan”
“Bangun awal untuk Tahajud itu rasanya menenangkan hati”
“Baru seminggu Ramadhan tapi alhamdulillah Allah sudah kasih kekuatan untuk khatam Quran.”
“Bersyukur banget masih rutin nambah hafalan Quran meski banyak kesibukan.”
“Sholat berjamaah tadi khusyu’ banget, imamnya bacaannya merdu.”
“Subhanallah, Sholat di depan Ka’bah langsung rasanya bikin pingin nangis.”
Ketika ada kawan yang menulis status model-model seperti ini apa kira-kira yang ada di fikiran kita? Mungkin ada yang berfikiran,
“Ya Allah ibadah kok dipamerin sih? Itu kan urusan dia sama Allah.”
“Ibadah kan prifasi, kenapa dipublikasi, itu ria’ namanya.”
“Ini kayaknya ibadah dengan tujuan biar bisa nulis status begini.”
“Ibadah itu untuk Allah, bukan untuk update status.”
“Ini update status begini biar dikenal orang sholeh kayaknya.”
“Wah ibadah kok dicampur ria’, gugur ntar pahalanya.”
Tentang pernyataan-pernyataan di atas ada kata ria’, ya ria’ memang suatu dosa dan bisa menggugurkan pahala kita ketika memang maksudnya untuk itu. Tentang tulisan-tulisan yang membahas ini sudah banyak saya jumpai dan kebanyakan mengatakan, “Itu perkara ria’ yang akan menghapus amalan kita.”
Tapi saya takut jika kesimpulan itu berterusan justru bisa memupuk api buruk sangka (suudzon) diantara kita dengan sesama. Melalui tulisan ini saya coba mengajak melihat dari sudut lain, mencoba mengajak melihat dari sudut yang semoga bisa meluaskan hati dan fikiran kita.
Langsung saja, ketika ada yang menulis seperti itu mari sama-sama kita kedepankan baik sangka (khusnudzon) dan kita coba tumbuhkan fikiran untuk menangkap suatu kebaikan dibanding keburukan yang masih prasangka. Apa maksudnya? Ketika ada orang yang menuliskan kebaikannya cobalah berfikir bahwa dia sedang gembira, ingin menyampaikan kegembiraannya, dan sedang memotifasi orang lain agar juga terdorong untuk melakukan kebaikan tersebut.
Kita perlu ingat bahwa dengan tanggapan negatif atas status orang lain seperti diatas, itu artinya kita telah mengizinkan buruk sangka (suudzon) singgah di hati kita.
Kita tentu tau bahwa amalan tergantung niat, maka ketika niat kebaikan dia tulus dan bersih untuk Allah Ta’ala dan mempublish kebaikan memang bertujuan untuk memotifasi yang lain maka tak ada yang jadi masalah, semua kembali pada niat empunya amal. Tentang niat dan keikhlasan serta urusan hati itu sepenuhnya Allah yang mengetahui dan kita tak berhak sedikitpun menghakimi.
Bisa jadi orang yang mengabarkan perihal kebaikannya memang merupakan sekedar ekspresi bahagia akan hal-hal positif yang dia lakukan dan berharap hal itu bisa menggugah orang lain untuk termotifasi melakukan hal serupa. Jika kabar kebaikan yang disebarnya memang diniatkan untuk memotifasi orang lain agar melakukan kebaikan serupa maka justru dia akan mendapatkan pahala dari mereka yang termotifasi.
Di Al-Quran juga diperintahkan “wa bassyiris-Sobiriin”, nah ayat ini memerintahkan kita ketika ingin cerita-cerita tu ya cerita lah yang gembira-gembira, yang baik-baik. Supaya dapat memotifasi dan menebarkan energi positif pada orang lain. Bisa jadi setelah update status ada yang mendoakan, ada yang termotifasi juga denga kebaikan yang ditulis. Jadi ya jangan hanya yang sedih-sedih saja yang kita sebarkan.
Tapi yang perlu menjadi catatan, ketika posisi kita ingin menjadi pelaku untuk menuliskan kebaikan maka yang menjadi titik tekan adalah niat awal akan sebuah pekerjaan tersebut, tanyakan lagi untuk apa ini saya lakukan?
Namun ketika kita menjumpai kawan yang menuliskan kebaikannya maka jangan izinkan sedikitpun buruk sangka singgah di fikiran kita dengan berfikir yang tidak-tidak tentangnya.
Berikan sebanyak-banyaknya prasangka baik daripada menghadirkan prasangka buruk.
Kairo, 04/10/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar